Balada Caraka Kelana (10): Higashi Nihon Daishinsai (Gempa Besar Jepang Timur 2011)

Rabu, 9 Maret 2011. Aku dan Rio, salah satu rekan di bagian perlindungan, mengunjungi salah satu WNI yang mengalami KDRT di kota Fukushima. Di perjalanan, Shinkansen yang aku tumpangi tiba-tiba berhenti. Awak kereta mengumumkan dalam bahasa Jepang bahwa kereta berhenti karena gempa. Istriku juga menelpon,”Gempanya terasa banget”. Maklum, karena kami tinggal di lantai 15, gempa kecilpun akan terasa. Malamnya istriku bercerita, menurut teman sekelas bahasa Jepang, gempa besar tidak lama lagi akan mengguncang Jepang, jadi kita semua harus menyiapkan tas darurat. Aku hanya mengiyakan perkataan istriku, tanpa memperkirakan bahwa gempa dahsyat akan terjadi dalam dua hari. Istrikupun menyiapkan ransel di dekat pintu masuk, iapun selalu mengenakan jaket parasitnya yang berwarna oranye itu.

Jumat, 11 Maret 2011. Pagi itu semua berjalan normal, aku melakukan aktifitas rutin, walau pak JK, mantan Wapres, sedang berada di Tokyo, aku tidak diminta mendampingi beliau. Sehabis shalat Jumat, aku berkutat dengan dokumen-dokumen yang harus aku tandatangani. Pukul 14:45 kantor bergetar, pak Jo yang baru masuk ruangan dan akan menyalakan rokoknya segera melesat keluar, aku segera menelpon istriku. Ketika telpon diangkat, istriku sedikit histeris. “Gempa…gempa”, teriaknya, aku berusaha menenangkannya. Selang beberapa detik, gempa makin kencang, kami semua berhamburan keluar, seketika itu juga pembicaraanku terhenti. Aku dengan sia-sia mencoba menghubungi kembali istriku. Gempa terasa beberapa menit, bu Ita, operator kami berulangkali istighfar dan menangis. Kami hanya terpaku sambil melihat gedung kantor dan jalan layang di depan bergoyang-goyang, seolah menunggu bangunan mana yang ambruk lebih dahulu.

Kebetulan handphone yang aku bawa memiliki fasilitas televisi, dan dari pantauan stasiun NHK, aku ketahui bahwa episentrum gempa berada di lepas pantai Sanriku dengan perkiraan kekuatan 9 SR. NHK juga menginformasikan bahwa gempa ini berpotensi menimbulkan tsunami di kawasan pantai Jepang Timur. Tsunami ini diperkirakan menghantam pantai di beberapa prefektur antara lain Morioka, Iwate, Miyagi, Fukushima, Ibaraki dan Chiba selang 30 menit setelah gempa pertama.

Setelah gempa mereda, aku segera pulang ke apartemen kami tinggal. Sampai di kompleks apartemen, beberapa ibu dan anaknya berkumpul di lobby, tapi aku tak melihat istriku di antara orang-orang itu. Aku segera naik ke lantai limabelas tempatku tinggal. Karena lift mati, aku naik melalui tangga darurat. Sesampainya di apartemen, buku-buku sudah bertebaran di lantai, locker-lockerpun terbuka, pintu masuk juga tak terkunci. Aku sedikit panik karena tak menemukan istriku di situ. Selang beberapa menit, gempa susulan menghantam, aku serasa berada di roller coaster, dengan terhuyung-huyung aku bergerak ke pintu masuk dan menahan pintu tersebut. Begitu gempa mereda, aku langsung menutup pintu dan turun ke bawah. Aku kembali ke kantor melalui jalur yang berbeda, melalui taman dan stasiun Gotanda. Taman itu memang didesain sebagai tempat pengungsian sementara. Aku berharap menemukan istriku di situ. Singkat cerita, aku menemukan istriku di sekitar stasiun Gotanda dan kami segera menuju kantor.

Gempa susulan dengan beragam kekuatan terjadi selama lebih dari sebulan.

Sore itu, kami semua mengungsi ke rumah dinas pak Her. Dari rumah pak Her, kami melakukan koordinasi ke Jakarta. Pak Her memberikan nomor HPnya sebagai nomor kontak yang disebar ke media di Indonesia. Sekitar jam 18:00 Papi meminta kami semua datang ke kantor untuk berkoordinasi. Sesampainya di kantor, Papi sudah ada bersama pak JK. Kami semua menerima arahan dari beliau. “Yang penting, kita selamatkan yang ada dulu,” ujar pak JK. Papi meminta kami untuk membuka semua saluran komunikasi, dan malam itu juga pos Tokyo mengupdate website, membuat akun di jejaring sosial Facebook dan Twitter. Papi juga mengkontak teman-temannya yang berkecimpung di IT untuk membantu proses itu, beliau juga meminta bantuan para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam PPI untuk bersama staf pos Tokyo membentuk pusat penanganan bencana atau crisis center. Pusat ini bertugas untuk menerima inquiries mengenai keberadaan WNI di wilayah bencana (Prefektur Miyagi, Iwate dan Fukushima); pengecekan terhadap keberadaan WNI; penyusunan database dan sistem koordinasi; serta pencarian data saat Tim SAR Indonesia melaksanakan tugasnya di wilayah bencana. Malam itu juga, Papi memerintahkan dua mobil dan beberapa staf untuk berangkat ke Sendai.

Suasana di Crisis Center

Suasana di Crisis Center

Kecemasan kami tidak hanya berhenti pada keselamatan WNI yang tinggal di tiga prefektur yang terkena dampak tsunami terparah yaitu Iwate, Miyagi dan Fukushima. Pada pukul 19:00 malam, kami menerima informasi bahwa PLTN Fukushima Pertama (Fukushima Daiichi Genshiryoku Hatsudensho) meledak karena gagalnya sistem pendinginan reaktor nuklir menyusul rusaknya generator pompa air karena diterjang tsunami. Malam itu, Menseskab Yukio Edano mengumumkan bahwa Jepang berada dalam keadaan darurat kecelakaan nuklir dan menetapkan wilayah-wilayah yang penduduknya harus dievakuasi. Hal ini tentu saja membuat kami lebih cemas, mengingat tim pos Tokyo belum sampai Sendai, Miyagi sementara kami juga harus segera bertindak untuk mengevakuasi WNI yang tinggal di Fukushima.

Krisis nuklir ini memperparah dampak gempa dan tsunami, karena 54 PLTN di seluruh Jepang dimatikan dan Jepang mengalami krisis energi listrik. Perusahaan-perusahaan listrik di seluruh Jepang meminta konsumennya untuk mengurangi konsumsi listrik dan melakukan pemadaman bergilir. Beberapa hari setelah PLTN Fukushima Daiichi meledak, sekitar tanggal 23 – 28 Maret 2011, kami memperoleh berita dari Pemerintah Metropolitan Tokyo yang menyatakan bahwa kandungan zat radioaktif air minum di Tokyo meningkat, dan air tersebut dinyatakan tidak layak dikonsumsi bayi dan balita. Pemerintah Tokyo mengumumkan bahwa pihaknya akan menjatah air mineral bagi keluarga yang memiliki bayi dan balita.

Satu hal yang membuatku kagum adalah kepatuhan dan kepercayaan masyarakat Jepang terhadap pemerintahnnya. Mereka dengan tertib mengantri pembagian ransum dan minuman, tanpa berebut, tanpa merasa khawatir tidak memperoleh bagian, dan bila ada orang yang lebih membutuhkan, mereka tidak segan-segan menolak pemberian bantuan, justru menyilakan pemberi bantuan untuk membagikan kepada orang yang lebih berhak.

Sore hari tanggal 12 Maret 2011, aku menerima telepon dari Bar, seorang ABK kapal ikan KM-3. Bar memberitahukan bahwa kapal tempatnya bekerja tergulung ombak tsunami ketika kapal mencoba keluar pelabuhan Shiogama, Prefektur Miyagi. Kapal tersebut diawaki delapan WNI dan dua WN Jepang, empat ABK WNI diantaranya hilang tergulung ombak karena menolak masuk ke dalam kapal ketika tsunami melanda. Hingga tulisan ini dibuat, empat orang tersebut tetap tercatat sebagai korban tewas dari Indonesia.

Setelah sekitar dua hari di kota Sendai, tim evakuasi kembali ke Tokyo pada tanggal 13 Maret 2011. Tim berhasil membawa 99 WNI yang berstatus sebagai mahasiswa dan keluarganya. Untuk sementara, mereka ditampung di Balai Indonesia untuk beristirahat dan dimintai keterangan serta diberikan bantuan pengurusan dokumen perjalanan.

Pada tanggal 15 Maret gelombang pemulangan WNI yang tinggal di wilayah bencana dimulai. 94 Mahasiswa dan keluarganya serta 5 ABK dipulangkan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia. Awalnya para mahasiswa tersebut khawatir pengurusan izin masuk kembali ke Jepang (re-entry permit), karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk itu. Papi -yang mengantar rombongan ke Bandara Narita- memberikan jaminan bahwa seluruh mahasiswa dan keluarga yang akan kembali ke Jepang setelah keadaan aman akan dibantu untuk memperoleh izin re-entry. Papi juga menugaskan pak Jo untuk menemani rombongan tersebut.

Belakangan diketahui bahwa pengurusan izin re-entry memang sulit, mengingat pemerintah Jepang saat itu belum menerapkan pelonggaran izin re-entry bagi warga asing yang terkena dampak bencana. Papi berkali-kali berkomunikasi baik dengan pejabat Gaimusho dan Kementerian Hukum Jepang (Homusho) untuk memperlonggar pemberian izin re-entry bagi mahasiswa Indonesia yang terkena dampak bencana dan dipulangkan. Keadaan bertambah runyam karena setelah sebulan masa tanggap bencana pemberian izin re-entry itu masih dibahas dengan alot, Gaimusho masih menunggu posisi Homusho, dan bagian Konsuler Kedubes Jepang di Jakarta tetap berkeras bahwa mereka masih menunggu clearance dari Tokyo, mungkin Papi juga sudah mengancam akan mengikuti jejak beberapa perwakilan negara Eropa yang hengkang dari Tokyo.

Sementara itu, para mahasiswa yang dipulangkan mulai gerah, geram dan khawatir mereka tidak memperoleh izin re-entry, mereka menagih janji dan jaminan Papi untuk mengurus izin re-entry. Pihak kementerian juga telah mengeluarkan nota diplomatik yang isinya meminta bantuan perwakilan Jepang di Indonesia untuk bisa memberikan kemudahan izin re-entry, walaupun nota tersebut kurang “sakti”. Setelah sekitar sebulan berlalu, izin re-entry tersebut akhirnya dipermudah, dan satu demi satu mahasiswa yang dipulangkan saat bencana kembali lagi ke Jepang.

Namun, permasalahan tidak hanya berhenti di situ, ada beberapa mahasiswa yang menuntut agar kementerian membelikan tiket penerbangan dalam negeri dari tempat tinggalnya ke Jakarta. Konon, permintaan tersebut ditolak kementerian karena ketiadaan dana.

Papi mengantar mahasiswa Indonesia yang dipulangkan ke Indonesia

Papi mengantar mahasiswa Indonesia yang dipulangkan ke Indonesia

Beberapa hari setelah gempa, pos Tokyo mengirimkan tim evakuasi ke beberapa kota di wilayah gempa, antara lain ke Kooriyama, Fukushima di Prefektur Fukushima, Ayukawa, Shiogawa, dan Kesennuma di Prefektur Miyagi. Hasilnya tim berhasil mengevakuasi 263 WNI termasuk mahasiswa dan keluarga di Sendai. Seluruh WNI yang dievakuasi itu dipulangan dalam beberapa gelombang. Tanggal 16 Maret 2011, 6 orang Mahasiswa, 2 ibu rumah tangga, 2 Nurse/Caregiver dipulangkan ke Indonesia.

Pada tanggal 17 Maret 2011, kami kembali memulangkan 14 orang mahasiswa dan keluarga serta 5 orang nurse/caregiver ke Indonesia. Selain itu, mengingat bahan-bahan makanan mulai sulit didapatkan di Tokyo, bahkan untuk membeli onigiri atau nasi kepel, masing-masing pembeli hanya dijatah satu saja, maka pos Tokyo meminta bantuan pos Osaka untuk membeli bahan makanan di Osaka. Bendahara pos Tokyo langsung melakukan transfer uang untuk keperluan pembelian dan pengiriman bahan makanan tersebut. Pada hari itu juga tepat tengah malam bahan belanjaan dari pos Osaka datang.

Kami menurunkan barang belanjaan yang dikirimkan pos Osaka

Kami menurunkan barang belanjaan yang dikirimkan pos Osaka

Hari-hari selanjutnya diisi dengan pemulangan WNI yang berhasil dievakuasi dari wilayah yang terkena dampak terparah bencana. Pada 18 Maret 2001, 9 orang ABK dipulangkan. Tanggal 19 Maret 2011, 33 pemagang dan 2 mahasiswa dipulangkan. Dua orang mahasiswa tersebut sebelumnya dievakuasi dari Sendai pada tanggal 13 Maret 2011, namun karena sesuatu hal, mereka memilih membantu Crisis Center dan pulang pada tanggal ini. Aku secara pribadi meminta salah satu mahasiswa itu untuk mengawal 33 pemagang yang semuanya perempuan ini. Hari itu juga, mengingat dampak kerusakan PLTN Fukushima Daiichi semakin buruk, pos Tokyo membuat rencana kontijensi evakuasi darurat untuk melakukan evakuasi massal dari wilayah Tohoku dan Kanto ke Indonesia atau ke wilayah di Jepang Barat.

Aku memberi pengarahan kepada 33 pemagang yang akan dipulangkan ke Indonesia

Aku memberi pengarahan kepada 33 pemagang yang akan dipulangkan ke Indonesia

Sebagai sahabat ditambah dengan pengalaman Indonesia sewaktu gempa dan tsunami melanda Naggroe Aceh Darussalam dan sekitarnya tanggal 26 Desember 2004, Pemerintah Republik Indonesia ikut menunjukan solidaritas dan simpati terhadap Jepang dalam bentuk pengiriman paket bantuan dan pengiriman tim SAR untuk membantu tim SAR Jepang menangani bencana dahsyat ini. Bantuan berupa selimut dan bahan makanan/minuman seberat 8 ton. Bantuan berupa minuman, makanan kaleng dan selimut seberat 4 ton datang pada tanggal 19 Maret 2011. Selain itu pada pagi itu juga, Tim Search and Rescue (SAR) Indonesia disertai pendamping dari Kedubes Jepang di Jakarta juga tiba di Bandara Narita. Untuk menurunkan barang bantuan ini, aku dan staf pos Tokyo dibantu ABK yang baru dievakuasi dari wilayah bencana, melakukan bongkar muat secara manual di Bandara Narita.

Staf Pos Tokyo dibantu ABK yang dievakuasi menurunkan 4 ton bantuan Pemerintah RI untuk Jepang

Staf Pos Tokyo dibantu ABK yang dievakuasi menurunkan 4 ton bantuan Pemerintah RI untuk Jepang

Di sepuluh hari terakhir Maret 2011, pos Tokyo kembali memulangkan WNI dalam beberapa gelombang. Pada 20 Maret 2011, 33 orang WNI yang bekerja sebagai ABK dipulangkan. Dua hari berturut-turut, tanggal 23 dan 24 Maret 2011, kami memulangan 42 WNI yang bekerja sebagai ABK. Pada tanggal 26 Maret 20111 pos Tokyo kembali memulangan 7 orang ABK, 3 orang Pemagang, dan 6 orang WNI yang tinggal dan berkeluarga di Jepang.

Pemulangan WNI yang berstatus sebagai pemagang, ABK dan nurse/caregiver tidak serunyam pemulangan mahasiswa, sebab biaya pemulangan mereka ditanggung pihak perusahaan pengguna, baik pihak penerima atau pihak pengirim. Namun ada juga pihak pengirim yang kelihatannya enggan mengurus, sebagai contoh pengirim pemagang perikanan adalah salah satu dinas di Jawa Barat, ketika kami kontak, kepala dinasnya sedang berada di luar negeri, dan kami dipingpong dari satu kepala seksi ke kepala seksi lain yang tidak bisa memberikan keputusan. Beruntung perusahaan mitra dinas tersebut mau bertanggungjawab dan memulangkan mereka. Bagi WNI yang tinggal di Jepang, kami meminta agar biaya pemulangan sebisa mungkin dibayar secara pribadi, pos Tokyo akan memintakan keringanan harga tiket ke pihak perusahaan penerbangan.

Namun demikian, tidak semua pemagang dipulangkan. Salah satu perusahaan penyalur, menolak pemulangan pemagang. Ketika tim evakuasi pos Tokyo akan menjemput mereka, pemimpin perusahaan penyalur tersebut datang ke pos Tokyo dan memprotes evakuasi tersebut. Namun pos Tokyo juga tidak bisa membiarkan para pemagang tersebut berada di wilayah bencana. Akhirnya disepakati bahwa para pemagang yang berada di wilayah bencana hanya dipindahkan ke perusahaan-perusahaan di wilayah lain.

Pada tanggal 20 Maret 2011, Tim SAR Indonesia yang dipimpin pak Kir, seorang Letkol AD berangkat ke wilayah bencana di Miyagi. Tim ini dibantu oleh dua orang volunteer dari Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang dan satu orang staf Kedubes Jepang di Jakarta.  Tim bergerak ke beberapa titik di wilayah Prefektur Fukushima dan Miyagi. Pada hari itu, kloter kedua bantuan Pemerintah Indonesia berupa selimut tiba di Bandara Narita. Aku dan staf dibantu beberapa ABK yang belum dipulangkan kembali melakukan bongkar muat manual. Tim SAR Indonesia kembali ke Tokyo pada 25 Maret 2011 dan kembali ke tanah air pada tanggal 30 Maret 2011.

Papi bersama Tim SAR Indonesia sebelum kembali ke tanah air

Papi bersama Tim SAR Indonesia sebelum kembali ke tanah air

Dalam periode tanggal 30 Maret – 11 April 2011, Crisis Center tetap menerima permohonan informasi WNI di Jepang dan melakukan konfirmasi keberadaan WNI tersebut. Pada periode 12 April – 11 Mei 2011, Crisis Center hanya digawangi oleh staf dan 1 orang volunteer PPI untuk melakukan pengecekan terhadap keselamatan WNI di wilayah bencana. Selama dua bulan Crisis Center dibuka, kami memperoleh 1081 permohonan informasi WNI di wilayah bencana dan berhasil mengkonfirmasi keberadaan 992 WNI di wilayah tersebut.

Cerita Gempa dan Tsunami Jepang Timur ditutup dengan kunjungan Presiden RI ke Jepang dan melakukan peninjauan ke kota Kesennuma, Prefektur Miyagi. Presiden RI didampingi Ibu Negara serta beberapa menteri mengunjungi Kesennuma pada tanggal 18 Juni 2011. Kota ini dipilih karena banyaknya WNI yang bekerja sebagai ABK armada kapal ikan Kesennuma, dan setiap bulan Agustus Kota Kesennuma mengadakan Festival Pelabuhan yang salah satu acaranya memperkenalkan kesenian Indonesia, khususnya Bali. Di kota ini, Presiden menyaksikan serah terima bantuan Pemerintah RI senilai dua juta dollar AS. Ketika kami kembali ke Kesennuma bulan November 2011, kami menyerahkan barang berupa Barong Bali sebagai ganti Barong mereka yang hanyut karena tsunami dan tujuhpuluh set angklung ke seluruh sekolah di Kesennuma sebagai tanda persahabatan. (bersambung)

Presiden RI, Ibu Negara dan rombongan di Kesennuma

Presiden RI, Ibu Negara dan rombongan di Kesennuma

Leave a comment