Toraja, Perawan Gelisah di Ujung Utara Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan. Apa yang ada dalam benak Anda ketika mendengar kata tersebut? Saya yakin berbagai hal muncul dalam benak Anda ketika kata Sulsel terdengar lembut di gendang telinga. Bagi bolamania, kata itu berasosiasi dengan Ramang, seorang striker Indonesia di pertengahan tahun 1960-an yang disegani lawan dan kawan atau Nurdin Khalid legenda PSSI yang bisa mengelola organisasi itu dari balik terali besi; bagi pelancong, nama pantai Losari, benteng Sombaopu dan Fort Rotterdam atau makam Diponegoro adalah beberapa dari banyak objek wisata di propinsi ini; para pecinta kuliner pasti mengenal kelezatan sop konro, coto makassar atau pisang epe; bagi pengamat politik beberapa nama seperti Jusuf Kalla, Andi Mallarangeng, Jenderal M. Yusuf atau Presiden RI non-Jawa pertama B. J. Habibie lekat di ingatan.

Namun di balik birunya pegunungan Latimojong terdapat sebuah dataran tinggi yang sejuk dan subur dan menjadi rumah bagi sebuah etnis diantara beberapa etnis di propinsi ini. Nama wilayah administratif daerah tersebut juga disamakan dengan nama suku itu -Toraja-. Tanpa mencoba untuk membuka memperuncing perbedaan etnis dan agama, jika kita bandingkan sebagian besar penduduk Sulsel memeluk agama Islam, maka mayoritas suku Toraja memeluk agama Nasrani baik Protestan dengan berbagai denominasi atau Katholik, sebagian masih mempertahankan agama adat Aluk To Dolo (aluk = aturan; to = orang; dolo = dahulu). Suku ini juga kebanyakan berprofesi sebagai petani yang menggarap sawah dan ternak seperti kerbau, babi dan unggas berbeda dengan mayoritas suku di Sulsel yang dikenal sebagai pengarung samudera. Bentuk rumah Toraja juga khas dengan bentuk seperti tanduk kerbau -ada yang memandang bentuk tersebut seperti bentuk perahu- yang disebut tongkonan berbeda dengan rumah khas Bugis atau Mandar.

Terkait dengan Toraja, pada pertengahan Maret 2013 aku dan pak Fred, atasan di kantor yang kebetulan juga berasal dari Toraja mengunjungi wilayah tersebut, tepatnya kami mengunjungi kota Rantepao, sebuah kota kecamatan yang berjarak kurang lebih 330 kilometer dari Makassar. Rantepao merupakan ibukota Kabupaten Toraja Utara, sebuah kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Tana Toraja. Rantepao juga dikenal sebagai gerbang destinasi wisata Toraja. Beberapa objek wisata terkenal terdapat di sekitar kota kecil ini seperti Kete’ Kesu’, Londa, Lemo, Palawa yang menyajikan keindahan perkampungan tradisional lengkap dengan area pemakaman unik yang terletak di tebing-tebing bukit kapur; situs peninggalan berupa menhir di Batutumonga; objek wisata alam di Tilanga dan beberapa alternatif objek lainnya.

Kampung tradisional dengan deretan tongkonan

Kampung tradisional dengan deretan tongkonan

Saat kami berkunjung, aku hanya sempat melihat perkampungan tradisional di Kete’ Kesu’ dan Palawa. Aku juga diajak mengunjungi tongkonan milik keluarga pak Fred di Kecamatan Sa’dan -konon merupakan wilayah cikal bakal suku Toraja-. Di tempat itu aku melihat tongkonan dan beberapa lumbung padi yang dalam bahasa setempat disebut alang. Diantara tongkonan utama dan alang terdapat lapangan seluas setengah lapangan bola yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pesta adat. Hal yang unik dari kompleks tersebut adalah adanya tumpukan batu besar di sebelah kiri tongkonan. Konon tumpukan batu besar tersebut merupakan tempat pemujaan orang Toraja zaman dahulu kepada Puang Matoa (Tuhan).

Tumpukan batu pemujaan zaman dulu

Tumpukan batu pemujaan zaman dulu

Sebenarnya tujuan utama kami berkunjung ke Toraja Utara adalah untuk melakukan pertemuan dengan jajaran pemerintahan daerah untuk memperoleh informasi mengenai pembangunan berkelanjutan. Kebetulan pada saat itu, kami diterima oleh Sekretaris Daerah Torut dan diajak untuk mengikuti forum gabungan yang melibatkan jajaran pimpinan daerah dan perangkat daerah, DPRD Kabupaten, pemimpin lembang (satuan wilayah setara dengan desa), tokoh masyarakat dan anggota lembaga swadaya masyarakat. “Forum ini dilaksanakan sebagai bagian dari penyusunan kebijakan daerah yang bersifat bottom-up”, demikian jelas pak Lew, Sekda Torut. Kami sempat melakukan presentasi dan diskusi dengan peserta rapat untuk memperoleh informasi.

Setelah pertemuan, aku bertemu dengan bu Romba, salah satu penggiat sebuah LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Dari ibu Romba aku memperoleh informasi mengenai adat istiadat Toraja. Beliau menerangkan bahwa orang Toraja memiliki satu akar yaitu tongkonan. Ia itu menjadi dasar bagi setiap segi kehidupan masyarakat Toraja, menentukan dimana seseorang hidup, berkedudukan dalam masyarakat, memanfaatkan alam, beraktifitas, menanam padi dan palawija, menyimpan kekayaan pribadi, bahkan menentukan liang lahatnya saat maut menjemput. Sebuah keluarga besar biasanya memiliki satu tongkonan utama. Bagi mereka yang tergabung dalam tongkonan tersebut, mereka bekerja sama dalam bertani, berternak, menyelenggarakan upacara adat dan lain-lain. Apabila salah satu cabang keluarga tersebut memiliki kemampuan dan kekayaan yang cukup, cabang keluarga itu bisa berpindah ke tempat baru dan mendirikan tongkonannya sendiri. Namun, tongkonan lama tidak boleh dipindahkan, karena dalam adat Toraja wilayah yang masuk dalam sebuah tongkonan sudah ditentukan peruntukannya sebagai contoh wilayah di sekitar tongkonan sudah dibagi untuk kawasan perumahan anggota keluarga biasa, hutan bambu dan hutan tanaman keras, sawah dan ladang bahkan areal pemakaman. Jika peruntukan tersebut diubah, sebagai contoh memindahkan tongkonan walaupun hanya 10 meter, masyarakat akan menganggap bahwa kosmos “tongkonan” sudah hilang dan keseimbangan kosmos berubah. Bu Romba sayangnya tidak menjelaskan apa yang harus dilakukan sebuah keluarga bisa tongkonannya harus dipindah sebagai akibat force majeur, katakanlah tanah longsor atau banjir.

Setelah acara yang berhubungan dinas selesai, aku diajak pak Fred untuk melayat salah satu keponakannya yang meninggal pada awal Maret 2013. Kami tiba di rumah duka sekitar jam 10:00, di situ kami disambut oleh kaum kerabat rumah duka. Di antara tetamu, terdapat beberapa bule yang ingin melihat prosesi adat tersebut. Pak Fred sempat bercakap-cakap dan memperoleh informasi bahwa mereka berasal dari Polandia dan Perancis. Orang Polandia itu sedang belajar bahasa Indonesia di Malang, dan berlibur untuk melihat keunikan budaya di Indonesia.

Tak lama kemudian MC menyatakan bahwa upacara kematian khas Toraja tersebut akan dimulai pukul 11:00. Rangkaian acara dimulai dengan sambutan dan pembacaan riwayat almarhum; acara ibadah; dan ditutup acara adat yang terdiri atas sambutan-sambutan baik dari keluarga maupun sambutan tokoh masyarakat dan pemerintahan -mengingat almarhum adalah kepala lembang-, jamuan kepada tamu dan pengarakan jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir.

Acara pertama berlangsung cepat, wakil keluarga mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kesediaan tetamu membantu dan mengantarkan almarhum ke peristirahatan terakhir. Pembacaan riwayat hidup juga dilakukan dengan singkat. Acara dilanjutkan dengan acara ibadah sesuai agama almarhum yaitu agama Kristen. Ibadah dipimpin oleh pendeta keluarga. Satu hal yang unik dalam pengamatanku adalah anggota keluarga diminta untuk menyanyikan kidung pujian untuk almarhum. Mungkin ini jamak dilakukan pada ibadah kematian agama Kristen. Acara ibadah berlangsung sekitar satu setengah jam.

Hidangan khas: daging kerbau

Hidangan khas: daging kerbau

Setelah upacara ibadah, acara dilanjutkan dengan acara adat. Rangkaian pertama acara adat adalah sambutan keluarga yang diwakili kakak kandung almarhum, sambutan rekan-rekan dekat almarhum dan sambutan Camat Sa’dan mewakili Bupati Toraja Utara. Acara dilanjutkan dengan jamuan. Suguhan utama yang disajikan dalam jamuan tersebut adalah daging kerbau yang telah disembelih sehari sebelumnya, selain itu keluarga almarhum juga melengkapi suguhan dengan beberapa macam lauk seperti ikan, ayam dan sayuran.
Acara ditutup dengan pengarakan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Makam telah disiapkan di bukit kecil tak jauh dari rumah duka. Namun jalan yang ditempuh iringan jenazah tidak melewati gerbang desa, melainkan agak memutar. Mungkin mereka juga memiliki semacam pamali yang melarang jenazah melewati gerbang masuk. Mengingat almarhum adalah tokoh masyarakat, maka konon makam yang dipersiapkan berupa rumah-rumahan berbahan batu bata, semen dan beratap genteng press di areal pemakaman yang terletak di bukit kecil belakang desa.

Menurut cerita pak Fred, upacara yang aku anggap cukup besar untuk syukuran kematian ternyata berskala kecil. “Bagi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat, upacara  akan dilakukan lebih besar, mengundang lebih banyak orang, menyembelih lebih banyak kerbau dan dilakukan bisa berhari-hari” terangnya. “Karena saudara-saudara almarhum sekarang merantau dan menetap di daerah-daerah lain, serta mereka tidak mau menginap lebih lama di rumah duka, maka acara hanya dilakukan tiga hari ini saja,” lanjutnya. “Kami, orang-orang Toraja memang bekerja keras dan mengisi hidup untuk mati,” ujar beliau sambil terkekeh,”Toh uang, sawah, kerbau atau tongkonan tidak dibawa mati, jadi daripada percuma, lebih baik dipakai untuk penyelenggaraan upacara ini kan?,” selorohnya.

Arak-arakan jenazah menuju peristirahatan terakhir

Arak-arakan jenazah menuju peristirahatan terakhir

Upacara kematian adalah salah satu upacara penting di kalangan orang Toraja. Kesedihan dan duka adalah satu hal yang sangat “bernilai” di suku ini. Konon, bahasa Toraja memiliki kata-kata yang cukup lengkap dan rumit untuk mengungkapkan kedukaan dan kesedihan hati yang terkait dengan kematian. Upacara kematian yang lazim disebut sebagai Rambu Solo’ dimulai dengan upacara penyembelihan kerbau di rante’ atau lapangan rumput di depat tongkonan. Daging kerbau tersebut kemudian dimasak untuk dihidangkan kepada pelayat pada puncak acara yang biasanya diadakan keesokan harinya.

Puncak acara biasanya diawali dengan ibadah, lalu dilanjutkan dengan acara adat yang sudah dilukiskan di atas. Sebelum diupacarakan, jenazah biasanya disemayamkan di bawah tongkonan. Sama halnya dengan tradisi Ngaben di Bali, arwah almarhum dipercayai masih berada di rumah dan almarhum “diperlakukan” sebagai orang sakit. Acara ditutup dengan arak-arakan pemakaman dan ibadah penghiburan bagi yang beragama Nasrani.

Keindahan Toraja memang menakjubkan, lembah-lembah yang menghijau ditingkahi rumpun bambu, perkampungan yang dipagari oleh gunung-gunung kapur perkasa. Ketika pagi menjelang, tanah basah menguapkan bau khas dan kabut tipis membebat langit dengan kesyahduan (aduuh… jadi puitis gini yak). Pak Fred bercerita sembari kami sarapan di teras yang menghadap sungai Sa’dan,”Dulu, empat puluh tahun yang lalu kota ini penuh dengan turis asing. Kalau malam, jalan di depan itu isinya rambut pirang semua,” ucap beliau sambil menunjuk jalan poros Rantepao – Makele. “Saya belajar dan memperlancar bahasa Inggris saya dari mereka. Karena terbatasnya guide resmi, maka kami para pelajar yang sedikit-sedikit mampu berbahasa Inggris menjadi guide bagi turis-turis yang membludak berkunjung di Toraja ini”, lanjutnya. Konon pada puncaknya di tahun 1980-an, turis asing yang mengujungi Toraja bisa mencapai 150.000 orang. Bahkan Kementerian Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi waktu itu menetapkan Toraja sebagai destinasi favorit di Sulawesi Selatan dan menyatakan Toraja sebagai “destinasi kedua setelah Bali”.

Kini, hampir tiga dekade setelah booming wisata di Toraja, raut kelesuanlah yang terbayang di wajah pariwisata tanah tersebut. Hotel-hotel yang muram; jalanan yang rusak, bergelombang, kumuh dan kotor; toko-toko souvenir dan restoran yang sama senyap; akses bandara yang sangat terbatas hanya bagi penerbangan perintis; jumlah turis domestik yang menurun dan bahkan jumlah wisatawan asing tidak lebih banyak dari jari kedua tangan. “Memang pasca menurunnya kondisi keamanan di Indonesia, terlebih pasca Bom Bali 2002 jumlah turis menurun, apalagi turis asing,” papar pak Fred.

“Kalau melihat fasilitas dan aksestabilitas yang terbatas seperti ini, mustahil kita bisa menjadi next destination beyond Bali,” lanjutnya. “Saya melihat bahwa pembangunan di Toraja tidak mengarah ke kemajuan, malah menuju kemunduran. Saya secara pribadi pernah menyarankan ke teman-teman sekolah saya yang saat ini menjadi pejabat di daerah, bangun dan majukan fasilitas dan aksestabilitas di Toraja untuk menarik lagi turis. Jangan lagi kita bergantung pada bantuan baik dari pemerintah propinsi atau pusat, bila kalian butuh investor, saya mau bantu carikan dan bahkan saya sudah dapat calon investor untuk perluasan bandara. Namun, entahlah apa yang menjadi pertimbangan sehingga saran-saran saya tidak bisa diimplementasikan,” sesal beliau.

Memang, apa yang dialami Toraja juga dialami di daerah-daerah lain. Buruknya infrastruktur berdampak pada terbatasnya akses. Keterbatasan akses mempersulit penduduk setempat untuk melakuan aktifitas sehari-hari dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah. Masalah infrastruktur tidak hanya menjadi masalah di daerah, namun juga menjadi masalah di tingkat nasional. Tampaknya pelaku pemerintahan baik di daerah maupun di pusat agak takut untuk mengeksekusi proyek-proyek infrastruktur, mengingat besarnya dana dan resiko yang harus ditanggung. Belum lagi struktur pembiayaan pemerintahan tampaknya masih menanggung beban belanja pegawai (gaji, pensiun, benefit dll) yang lebih besar daripada belanja modal untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu, prosedur pengadaan barang dan jasa pemerintah yang “terlihat” rumit serta “ancaman” kriminalisasi bagi para pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa membuat pembangunan infrastruktur di negeri ini tampak berjalan di tempat.

Semoga hal ini tidak membuat Toraja -si perawan cantik di ujung Sulsel- semakin gelisah. Wa’allahu alam bissawab

One response to “Toraja, Perawan Gelisah di Ujung Utara Sulawesi Selatan

Leave a comment