Pesona Flobamora: Sejumput Surga di Nusa Tenggara Timur

Beberapa waktu lalu, NASA merilis foto yang diambil dari ketinggian 1600 km di atas Jawa. Foto tersebut memperlihatkan paruh timur Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumba hingga Timor. Jajaran gunung, kota dan lansekap lain yang indah membuat foto tersebut menjadi trend beberapa hari di kalangan netizen Indonesia. Pulau-pulau di yang terletak di bagian atas foto itu, akan saya ulas dalam tulisan ini. Pulau-pulau Flores, Sumba, Timor dan Alor serta beberapa pulau kecil lain tergabung menjadi satu propinsi yaitu Propinsi Nusa Tenggara Timur, atau sering disebut dengan istilah Flobamora. Titik paling selatan Republik Indonesia juga terletak di propinsi ini, tepatnya di Pulau Rote, sebelah selatan Kupang, ibukota propinsi NTT.

Foto yang dirilis NASA tanggal 20 Maret 2016

Foto yang dirilis NASA tanggal 20 Maret 2016

Propinsi Nusa Tenggara Timur menyimpan sumber daya yang luar biasa. Pulau-pulau yang membentuk propinsi ini telah dihuni manusia sejak seratus ribu tahun yang lalu. Penemuan fosil manusia kerdil Homo Florensis mengkonfirmasikan fakta tersebut. Propinsi ini juga dikaruniai landsekap sabana yang cocok untuk peternakan, memiliki sumber mineral berupa logam mangan, chrome, nikel, tembaga, dan emas. Hasil pertanian utama yang menjadi andalan propinsi ini antara lain adalah padi, jagung, kelapa dan jambu mete. Potensi kelautan dan perikanan meliputi 80,86% wilayah dari total luas ± 200.000 km², dengan garis pantai mencapai 5.700 km, belum termasuk perairan ZEEI yang kaya dengan potensi sumber daya hayati kelautan mencapai 240.000 ton/tahun.

Kepulauan di sisi tenggara Nusantara ini telah masuk ke dalam catatan sejarah sejak Abad VII Masehi dan dikenal sebagai pulau penghasil kayu cendana yang merupakan komoditas bernilai tinggi karena kayu cendana sering digunakan sebagai salah satu bahan upacara adat dan keagamaan. Kemasyhuran harum cendana tersebar hingga Eropa, karena komoditas kayu ini diperdagangkan hingga ke Jawa, India, Mesir, Tiongkok sampai Romawi. Kerajaan Majapahit pada abad XII menjadikan kepulauan ini sebagai wilayah bawahannya, khususnya pulau Timor dan memonopoli perdagangan kayu cendana. Ketika Majapahit runtuh dan Islam tersebar ke Nusantara, para penyebar agama ini juga masuk dan mengajak penduduk kepulauan ini untuk memeluk agama Islam. Islam masuk melalui pulau Solor di Flores Timur dan kemudian menyebar ke Flores, Alor, Sumbawa dan Timor pada awal abad XV Masehi.

Ambisi bangsa Eropa untuk berpetualang untuk memperoleh kejayaan, kekayaan dan panggilan agama juga berpengaruh pada perkembangan kepulauan Nusa Tenggara Timur ini. Pada abad XVI bangsa Belanda dan Portugis hadir dan berebut pengaruh di Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1522 armada Portugis di bawah pimpinan Antonio Pigafetta mendarat di Timor, dan tidak lama kemudian Portugis telah membangun kantor dagang dan benteng di Solor. Pada tahun 1613, Belanda di bawah pimpinan Apolonius Scotte merebut benteng dan mengusir orang Portugis di Solor. Belanda juga mendirikan Fort Concordia di Kupang pada tahun 1653 untuk memastikan kekuasaannya di Timor. Namun demikian, persaingan Belanda vs Portugis  itu ternyata berlangsung cukup alot. Baru pada tahun 1859 melalui Kesepakatan Lisabon, Portugis dan Belanda mengakhiri persengketaan mereka atas tanah jajahan di wilayah Hindia Timur. Portugis menyerahkan Hindia Timur kepada Belanda kecuali Timor Timur (sekarang Timor Leste). Seiring masuknya bangsa Belanda dan Portugis, pergeseran kebudayaanpun terjadi dimana agama Kristen dan Katolik mewarnai kehidupan sosio-relijius penduduk NTT dengan sangat kental. Saat ini, dari sekitar 4,6 juta penduduk NTT, sekitar 54% memeluk agama Katolik, 34% Kristen Protestan, 9% Islam, 0,11% Hindu, 0,01% Buddha dan 1,73% menganut agama dan kepercayaan lainnya.

Saat Perang Dunia II berkecamuk, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1941 dan menyerahkan seluruh Hindia Belanda ke tangan Jepang. Bekas karesidenan Timor yang terdiri atas Timor, Flores, Sumba dan pulau lain berada di bawah pemerintahan sipil (Minseifu = 民政府) yang bertanggung jawab kepada Markas Besar Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makassar. Setelah Indonesia merdeka, wilayah yang membentang dari Bali hingga Timor disatukan dalam propinsi Sunda Kecil dengan gubernur Mr. I Gusti Ketut Puja. Ketika Belanda kembali dan pecah Revolusi Indonesia, propinsi ini melebur ke dalam Negara Indonesia Timur. Ketika NKRI kembali terbentuk, propinsi Sunda Kecil terbentuk kembali dan diberi nama baru melalui Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950 berdasarkan usul Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prof. M. Yamin yakni Propinsi Nusa Tenggara.

Selanjutnya melalui UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur lahirlah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah pemekaran propinsi Nusa Tenggara menjadi tiga propinsi baru yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Propinsi Nusa Tenggara Timur sendiri wilayahnya meliputi seluruh bekas Karesidenan Timor yang terdiri atas Timor, Flores, Sumba, dan pulau-pulau sekitarnya. Menurut Brigjen dr. Aloysius Benedictus Mboi, atau lebih dikenal sebagai Ben Mboi Gubernur NTT ketiga seperti dituliskan majalah Historia (http://www.historia.org) pemekaran Propinsi Nusa Tenggara sangat berat beban ideologis. Bali, mayoritas beragama Hindu dan dikuasai Partai Nasional Indonesia; mayoritas penduduk NTB beragama Islam dengan kekuatan politik partai Islam (Masyumi dan Nahdlatul Ulama); dan NTT penduduknya 90 persen Kristen (55 persen Katolik, 35 persen Protestan) secara politis berbasis Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia).

Kendati lahir bersamaan, namun peresmian ketiga provinsi itu berbeda-beda: Bali (14 Agustus 1958), NTB (17 Desember 1958), dan NTT (20 Desember 1958). Gubernur pertama NTT dijabat W. J. Lala Mentik, sedangkan Frans Sales Lega, ketua delegasi Komisariat Partai Katolik Timor yang menginisiasi usul pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Timur, menjabat bupati Manggarai. Sejak kelahirannya pada tahun 1958, propinsi NTT terus membangun, walaupun hingga saat ini propinsi ini masih tercatat sebagai propinsi dengan perkembangan ekonomi yang tertinggal dan dapat dikategorikan sebagai salah satu propinsi termiskin di Indonesia.

Saya berkesempatan untuk mengunjungi Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 6-10 Mei 2015 bersama dengan rombongan peserta diklat dari kementerian tempat saya bekerja. Saya dan peserta diklat memanfaatkan kunjungan dengan mengadakan observasi lapangan ke Kupang, Ende dan Manggarai Barat. Di tempat-tempat tersebut, saya dan rombongan melihat dan menikmati beberapa atraksi wisata seperti rumah pengasingan Ir. Soekarno, Danau Tiga Warna Kelimutu, Pulau Komodo dan Pink Beach, serta Goa Batu Cermin Labuan Bajo.

Wakil Gubernur NTT Benny Alexander Litelnoni ketika menerima rombongan, menyampaikan bahwa, “NTT sebagai daerah terluar dan daerah perbatasan masih kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat internasional umumnya. Padahal NTT memiliki potensi-potensi daerah yang membanggakan.” Selanjutnya Wagub menjelaskan Posisi Provinsi NTT sebagai daerah perbatasan telah dan sedang membangun kerja sama ekonomi dengan mengembangan perdagangan segitiga Kupang-Darwin-Dili. Kerja sama terutama dengan Timor Leste terus digalakkan. Namun persoalan tapal batas, lanjut Wagub, seringkali menjadi kendala dalam membangun kerja sama tersebut. Karena itu, ia mengharapkan agar Pemerintah Pusat menaruh perhatian serius terhadap masalah tersebut .

Setelah mendengarkan pemaparan mengenai propinsi NTT, peserta mencatat bahwa beberapa potensi yang patut dikembangkan yaitu ternak sapi, kopi dan kayu cendana, potensi geothermal yang belum banyak dimanfaatkan dan potensi pariwisata menarik yaitu Pulau Komodo, Danau Kelimutu dan wisata bawah laut di Alor. Sementara itu, permasalahan yang dihadapi adalah minimnya infrastruktur, tingkat kemiskinan dan kekurangan sumber daya manusia. Selain itu, para pemapar yang terdiri atas para pejabat teras pemerintah propinsi NTT mengungkapkan kurangnya dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana perimbangan yang diterima dari Jakarta. “Kalau input ke kami hanya sedikit, jangan harapkan output dari kami tinggi, sebab kami membutuhkan dana-dana tersebut untuk modal pembangunan di propinsi ini”, kata salah satu pejabat tersebut. Kami menginap di Kupang selama semalam dan menikmati suasana pantai Kupang yang indah dan berbelanja di salah satu toko kerajinan di kota Kupang. Para peserta terlihat memborong kain tenun khas Kupang dan tentu saja batu mulia yang saat itu sedang menjadi trend.

Setelah mengunjungi Kupang, rombongan terbang dengan menggunakan pesawat ATR 72 Garuda Indonesia ke Kabupaten Ende. Penerbangan berjalan lancar selama kurang lebih satu jam walaupun saya sendiri agak khawatir karena pesawat ATR adalah pesawat turboprop. Namun kekhawatiran saya tidak terbukti dan pesawat terbang mulus hingga Bandara H. Hasan Aroeboesman di Ende. Sesampainya di kota Ende, rombongan mengunjungi beberapa objek wisata yaitu situs rumah pengasingan Proklamator dan perumus Pancasila Ir. Soekarno, pohon sukun Pancasila, museum Ende dan kantor destination management organization Wisata Flores untuk memperoleh gambaran kepariwisataan Pulau Flores.

Rumah Pengasingan Bung Karno (photo credit: Erwin M. Akbar)

Rumah Pengasingan Bung Karno (photo credit: Erwin M. Akbar)

Malam harinya, kami dijamu oleh Bupati Ende, Ir. Marselinus Petu dan jajaran pimpinan Kabupaten Ende. Saat menerima rombongan, Bupati Ende menyampaikan pemaparan mengenai strategi pengembangan pariwisata Ende dengan branding “Ende, Explore the Mystical”. Pemerintah Kabupaten Ende menetapkan target kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 5% per tahun hingga mencapai sekitar 110.116 orang pada tahun 2019, khususnya wisatawan dari Asia Tenggara, sehingga memerlukan dukungan para diplomat dalam promosi potensi pariwisatanya di luar negeri.

Keesokan harinya, kami diajak untuk  menikmati suasana matahari terbit di Danau Tiga Warna di Gunung Kelimutu. Perjalanan ke Gunung Kelimutu memakan waktu kurang lebih tiga jam dengan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, rombongan sudah berangkat dari Kota Ende sekitar jam 3 pagi. Medan perjalanan cukup berat melewati jalan yang hanya cukup untuk dua mobil berpapasan serta berada di sisi jurang yang menganga setinggi puluhan meter. Selain itu, tanah di wilayah ini cukup labil, sehingga terdapat beberapa titik jalan menuju Gunung Kelimutu rusak karena longsor atau terkena longsoran dari atas. Dalam beberapa puluh menit perjalanan, salah satu rekan sudah muntah-muntah karena tidak tahan dengan goncangan dan kontur jalan yang berkelok serta naik turun. Setelah tiga jam, kami tiba di pelataran parkir gerbang masuk ke Taman Nasional Gunung Kelimutu. Perjalanan dilanjutkan dengan trekking sepanjang kurang lebih 3 kilometer. Udara pagi yang dingin dan segar segera menyapu peluh yang membanjir. Saya teringat terakhir kali saya naik gunung ketika masih mahasiswa sekitar 15 tahun yang lalu, kali ini kaki saya gemetar hebat tatkala mendaki trek yang cukup curam. Namun suasana terbitnya matahari di Danau Tiga Warna sungguh indah dan susah untuk digambarkan dengan kata-kata. Semua kepenatan dan kelelahan sirna ketika melihat sang Surya terbit dan menjilati persada dengan sinar keemasannya.

Matahari terbit di Kelimutu (photo credit: Erwin M. Akbar)

Matahari terbit di Kelimutu (photo credit: Erwin M. Akbar)

Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna – warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Ko’ o Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua dan bijaksana yang telah meninggal. Di salah satu ruas jalan kira-kira 2 kilo dari pelataran parkir terdapat batu besar yang disebut Pere Konde dan dipercayai sebagai gerbang arwah sebelum bersemayam di salah satu Danau Tiga Warna. Setelah menikmati suasana pagi di Danau Tiga Warna, kami singgah ke Kampung Adat Wologai dalam perjalanan kembali ke kota Ende.

Saya dan rombongan tiba di Kampung adat Wologai sekitar pukul 10:00 dan disambut oleh kepala desa Wologai Tengah. Kami selanjutnya diantar ke bagian tengah kampung yang merupakan bagian paling sakral dari kampung adat ini. Kampung Wologai terletak di Desa Wologai Tengah Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende, sekitar 40 km ke arah timur kota Ende. Penduduk asli kampung Wologai ini merupakan suku Lio yang merupakan 1 dari 24 suku Lio lainya yang menetap di sekitar Taman Nasional Kelimutu.

Dari hasil bincang-bincang dengan Kepala Desa Wologai, saya menyimpulkan bahwa kampung adat ini telah berdiri sejak zaman Majapahit, hal ini terlihat dari legenda turun menurun bahwa kampung ini berdiri pada zaman wilayah ini menjadi daerah vasal kerajaan Hindu di Jawa. Struktur pemukiman di kampung adat ini cukup unik. Di tengah kampung terdapat inner sanctum yang disebut “kanga” yang terdiri atas susunan batu menhir dan dolmen dan tidak boleh dimasuki siapa saja kecuali pemuka adat di waktu-waktu tertentu. Kanga ini dikelilingi oleh beberapa rumah, sekitar 13 rumah yang memiliki fungsi adat masing-masing. Sayang sekali rumah adat yang ada saat ini adalah rumah adat baru, menyusul musibah kebakaran pada tahun 2012 yang lalu. Keramahan Kepala Desa Wologai dan penduduk kampung adat Wologai sangat hangat dan tak jarang mereka melayani permintaan kami dengan senyum ikhlas tanpa mengharap pemberian apapun, lain halnya dengan beberapa kampung “adat” di wilayah lain yang menetapkan harga untuk berfoto.

Rumah tradisional di kampung adat Wologai (photo credit: Erwin M. Akbar)

Rumah tradisional di kampung adat Wologai (photo credit: Erwin M. Akbar)

Setelah menikmati keindahan Kabupaten Ende, giliran Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dikunjungi oleh rombongan saya. Lagi-lagi, perjalanan dari Ende ke Labuan Bajo, ibukota Mabar ditempuh dengan pesawat ATR 72. Perjalanan kali ini juga berjalan lancar tanpa guncangan-guncangan. Rombongan tiba di Bandara Komodo, Labuan Bajo dan disambut dengan bangunan terminal bandara yang masih baru dan cukup megah, bahkan lebih bagus ketimbang bandara Soetta di Tangerang! Kami dijemput dengan bis Damri dan dua mobil operasional milik BKKBN Mabar. Setelah beristirahat, malam harinya rombongan kami dijamu oleh Bupati Mabar di kediaman resminya. Dalam pemaparannya, Bupati Mabar drs. Agustinus Ch. Dula memaparkan berbagai potensi pariwisata Manggarai Barat seperti Pulau Komodo dan Pink Beach, dan potensi komoditas kopi, perikanan serta potensi geothermal di danau Sano Nggoang.

Keesokan harinya, saya dan rombongan melakukan kunjungan ke Pulau Komodo. Rombongan dibagi ke tiga alat trasportasi laut, satu speed boat milik Dinas Perhubungan, satu speed boat milik BNPB dan satu perahu -lebih mirip perahu karet- milik Basarnas. Perjalanan dengan tiga kapal ini memakan waktu sekitar 45 menit dari dermaga Labuan Bajo. Di tengah laju speed boat ini, angin sempat menerbangkan topi dan kacamata saya. Topi jatuh ke lantai kapal, sementara kacamata terlempar ke laut. Saya menjadi sedikit “buta” karena kehilangan kacamata ini.

Setibanya di Pulau Komodo kami disambut oleh beberapa pemandu yang memberikan taklimat kilat mengenai apa yang boleh dan dilarang dilakukan ketika kita mengunjungi Pulau Komodo. Pulau ini memiliki luas sekitar 390 kilometer persegi dan dihuni sekitar 1300 ekor Komodo. Selain di pulau ini, Komodo juga dapat ditemui di Pulau Rinca dan Gili Motang yang terletak di sekitar pulau Komodo. Komodo merupakan hewan melata yang memiliki indera perasa di lidahnya, konon komodo dapat mendeteksi bau darah dari jarak 3 kilometer, oleh karena itu, wanita yang sedang haid sangat tidak disarankan untuk berkunjung ke pulau-pulau tersebut. Selain itu, kita dilarang untuk mendekat dan memegang hewan ini, apapun yang terjadi karena gerakan komodo sulit diprediksi dan air liurnya mengandung jutaan bakteri yang akan membuat bagian tubuh yang tergigit membusuk dalam waktu beberapa jam! Penduduk setempat memanggil binatang ini dengan nama “ora”; konon menurut legenda setempat komodo dan manusia adalah saudara kembar dan anak dari Umpu Nanjo, pendahulu orang setempat. Karena kepercayaan ini, orang-orang yang masih menetap di ketiga pulau tersebut tidak akan mengganggu keberadaan komodo tersebut.

Komodo yang berkeliaran di sekitar Dermaga Loh Liang (photo credit: Erwin M. Akbar)

Komodo yang berkeliaran di sekitar Dermaga Loh Liang (photo credit: Erwin M. Akbar)

Para pemandu mengarahkan rombongan untuk mengambil jalur trek yang paling dekat dan paling mudah untuk dilalui pengunjung “amatir” macam kami. Terdapat beberapa jalur trek yang ditawarkan dari trek sekitar dermaga Loh Liang hingga trek yang mencapai sisi lain Pulau Komodo. Di sepanjang jalur trekking tersebut, kami melihat beberapa ekor komodo, baik yang berukuran kecil, maupun yang sudah besar dan juga beberapa ekor rusa. “Selain berburu di darat, komodo juga bisa berenang di air, sehingga komodo dapat berenang di laut untuk berburu makanan, namun kemampuan berenang komodo tidak sedemikian bagus, sehingga paling jauh seekor komodo dapat berenang sekitar 500 meter dari pantai,” kata seorang pemandu kami. Kelemahan komodo terletak moncongnya, sehingga para pemandu menggunakan tongkat kayu yang ujungnya bercabang dua untuk menahan moncong komodo jika hewan tersebut berubah agresif dan menyerang.

Pink Beach di Pulau Komodo (photo credit: Erwin M. Akbar)

Pink Beach di Pulau Komodo (photo credit: Erwin M. Akbar)

Setelah puas melihat komodo, kami mengunjungi salah satu spot yang menjadi ikon wisata Pulau Komodo, yaitu Pink Beach. Pantai ini terletak tidak jauh dari dermaga Loh Liang, hanya memakan waktu sekitar 15 menit. Pasir di pantai ini berwarna pink, karena banyaknya pecahan koral merah bercampur dengan pasir putih. Bagian pantai yang berwarna pink tersebut membentang sekitar 2 kilometer. Air di pantai inipun terasa sangat dingin di tengah teriknya matahari siang itu. Kami menikmati keindahan alam pantai pink ini hingga matahari mengarah ke barat. Sekitar jam 3:30 kami meninggalkan pulau Komodo untuk kembali ke Labuan Bajo. Para jurumudi kapal mengingatkan kami untuk segera kembali, mengingat menjelang senja biasanya arus laut dan gelombang akan membesar. Saya pun merasakan bagaimana speed boat yang dipacu kencang menabrak gelombang laut, rasanya seperti turbulensi saat naik pesawat!

Setelah puas mengunjungi Pulau Komodo, di hari terakhir kunjungan, rombongan kami singgah ke Gua Batu Cermin. Gua ini berada di Kampung Wae Kesambi, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat, NTT. Letaknya 2,5 km dari Labuan Bajo, dan terletak di tengah hutan bambu. Mulut gua cukup kecil sehingga memaksa pengunjung antri untuk dapat melaluinya dan kebetulan hari kunjungan kami bertepatan dengan hari libur, sehingga cukup banyak wisatawan lokal yang ingin masuk ke gua. Menurut para pemandu, di dalam ruang gua terdapat fosil karang dan penyu sehingga membuktikan bahwa pada zaman dahulu tempat ini berada di bawah laut. Gua ini juga memiliki stalagtit dan stalagmit yang indah dan memantulkan cahaya matahari yang masuk dari lubang di langit-langit gua.

Fosil penyu di Gua Batu Cermin (photo credit: Erwin M. Akbar)

Fosil penyu di Gua Batu Cermin (photo credit: Erwin M. Akbar)

Setelah menikmati keindahan Pulau Komodo dan pantai Pink serta rangkaian kegiatan ditutup dengan kunjungan ke Seminari Menengah Santo Yohanes Paulus II Labuan Bajo untuk mengadakan dialog dengan peserta didik dan para pembina seminari. Setelah melakukan observasi dan dialog dengan para pemangku kepentingan, para peserta menyimpulkan bahwa propinsi NTT memiliki potensi yang dapat dikembangkan terutama di bidang pariwisata. Namun diperlukan pengembangan infrastruktur dan pengemasan paket wisata sehingga menarik wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara.

Wallahu ‘alam bissawab.

Leave a comment